Cerita Masuk ITB
Jika kata orang masuk ITB susah,
bagi saya mendapat kesempatan untuk menaruh ITB sebagai pilihan lebih susah.
Jika kata orang lulus dari ITB lebih susah, bagi saya menyandang gelar sebagai
“yang katanya” Putera-Puteri Terbaik Bangsa jauh lebih susah.
-04 April 2016 –
Foto ini menunjukkan pertama kali saya menginjakkan kaki di ITB. Entah mengapa atmosfer ITB dan segala benda hidup maupun benda mati yang
ada di ITB membuat saya merasa nyaman dan damai dalam waktu yang bersamaan.
Padahal saat itu saya masih kelas XI dan belum tau mau kuliah dimana dan jurusan
apa. Saat itu juga saya iseng berkata dalam hati, “Tunggu saya 1 tahun
lagi sebagai MABA STEI 2017”,
meskipun sebenarnya saya pun belum benar-benar tahu apakah saya benar-benar menginginkan
untuk masuk STEI. Kenapa STEI? Karena saya dari SD suka matematika dan
pelajaran yang paling saya sukai adalah matematika,. Jadi, saya saat itu hanya
tahu bahwa saya ignin masuk Teknik Informatika dengan asumsi bahwa jurusan ini
tidak membutuhkan skill fisika, kimia, atau biologi.
-Desember 2016 –
Januari 2017-
Dengan passion di bidang
matematis dan konseptual, muncul keinginan saya untuk mengambil jurusan Teknik
Informatika. Setelah menelusuri banyak sumber, saya memilih STEI sebagai masa
depan saya. Tetapi menjelang pengisian pilihan SNMPTN, Ayah saya berpendapat
bahwa kuliah dimana saja asal sungguh-sungguh pasti bisa berprestasi. Ayah saya
pun secara implisit menyuruh saya untuk memilih Teknik Informatika ITS dengan alasan lebih dekat dengan rumah, biaya
masih terjangkau, dan ada kakak sepupu. Sejak saat itu, setiap ada yang bertanya saya mau kuliah di mana, saya
selalu bilang Teknik Informatika ITS,
tanpa berani menyebut STEI. Akhirnya saya pun menaruh Teknik Informatika ITS pada pilihan satu-satunya SNMPTN 2017.
-26 April 2017-
Hari yang ditunggu-tunggu oleh pendaftar SNMPTN pun tiba. Semua teman-teman
saya menunggu, penasaran, dan berharap masuk jurusan yang dia pilih. Namun
tidak dengan saya. Saya tahu bahwa saya sudah pasti tidak lolos. Sebelum
pengumuman SNMPTN, saya membuka laman SNMPTN lalu melihat berapa banyak Teknik
Informatika ITS menerima mahasiswa baru lewat jalur SNMPTN. Di sana saya bisa
melihat detail jumlah yang diterima dari SMA berapa, SMK berapa, dan MA berapa.
Pada laman itu saya mendapat informasi bahwa pada tahun 2016, jumlah anak MA
yang diterima di Teknik Informatika ITS hanya satu orang. Untungnya saya tahu
siapa dia. Dia adalah kakak kelasku di MAN yang memang mengikuti lomba NLC dan
mendapat juara satu sehingga mendapat freepass untuk SNMPTN Teknik
Informatika ITS. Sisanya? Jelas tidak ada anak lulusan madrasah yang diterima
oleh Teknik Informatika ITS. Bahkan saat saya melihat informasi jurusan-jurusan
lain, sama saja, tidak ada lulusan madrasah yang diterima ITS lewat SNMPTN
kecuali mendapat freepass.
-April 2017-
Hari-hari pendaftaran SBMPTN, dengan mimpi yang masih sama saya terus
belajar. Hingga akhirnya tibalah saat untuk mengisi pilihan SBMPTN. Jujur
menentukan pilihan sangat berat. Orangtua menginginkan Teknik Informatika ITS
dan saya masih bermimpi STEI. Saya tidak akan berani memilih tanpa restu
orangtua. Terlebih lagi karena sekolah saya boarding school di luar
kota, tidak ada kesempatan bertemu orangtua dalam kesibukan ujian kelas XII.
Sedangkan hanya berbicara lewat telepon tidak akan bisa berdiskusi dengan maksimal.
Hingga suatu hari menjelang detik-detik terakhir pengisian pilihan SBMPTN, saya
diberi kesempatan bertemu orangtua saya secara langsung. Pada saat itulah kami
mendiskusikan pilihan-pilihan saya. Dan saat itu juga saya memberanikan diri
berbicara jujur ke orangtua bahwa mimpi saya yang sesungguhnya adalah STEI.
Tiba-tiba Ayah saya mengiyakan pilihan saya, dengan syarat pilihan kedua dan
ketiga adalah pilihan yang saya benar-benar mampu, karena saya tidak mendaftar kuliah
apapun selain SBMPTN. Secercah harapan pun muncul. Saya pun jadi lebih semangat
belajar dan mendapat dukungan positif dari teman-teman dekat saya. Semua teman
dekat saya bilang kalau saya pasti mampu, saya pasti bisa buktikan kalau saya
bisa. Disclaimer sedikit ya! Saya memang ikut bimbel di GO (Ganesha
Operation) meskipun saya sering bolos hehe. Tapi memang nilai-nilai Try Out saya
tidak pernah mencapai passing grade 50% (tahun 2017, zaman saya masih
menggunakan passing grade), sehingga sebenarnya saya juga cukup nekat
untuk memilih ITB. Saya tidak konsultasi dengan BK, tidak konsultasi dengan
guru-guru les saya (FYI GO menyediakan jasa konsultasi gratis tentang pilihan
SBMPTN gratis bagi siswanya), tapi saya hanya berkonsultasi dengan teman-teman
saya dan selalu berdoa agar bisa masuk ITB.
-16 Mei 2017-
Inilah saat pertarungan yang sesungguhnya. Saya pun tidak henti-hentinya
berdoa, meminta doa dari semua orang. Setelah selesai mengerjakan ujian, saya
sedih. Waktu itu kebetulan yang dikerjakan dahulu SAINTEK, lalu istirahat
kemudian dilanjutkan soal TKPA. Saya merasa tidak maksimal mengerjakan soal
SAINTEK. Jumlah yang saya kerjakan jauh lebih sedikit dari teman-teman yang
lain. Saat itulah rasa tidak percaya diri mulai muncul. Saya berpikir tidak
akan lolos STEI, bahkan pilihan ketiga pun bisa saja tidak lolos. Saya sudah
mulai pesimis dengan impian saya. Akhirnya muncul pula berbagai pertanyaan di
kepala saya “Memangnya kalau masuk ITB dengan keadaan saya yang bukan salah
satu siswa terbaik di sekolah, apakah saya bisa bertahan? Apakah saya pantas?
Apalagi pilihan saya STEI yang notabene salah satu yang katanya memiliki passing
grade tertinggi di Indonesia, apakah pilihan yang ‘tau diri’? Sedangkan
nilai-nilai Try Out saya tidak pernah menyentuh angka 50%.” Ditambah
lagi suatu hari Ayah saya tiba-tiba bilang “Semoga kamu diterima pilihan 2,
Teknik Informatika ITS, jangan sampai
pilihan satu”. Akhirnya saya seperti kehilangan harapan. Saya mengganti doa
yang setiap sholat saya panjatkan yang awalnya “Ya Allah jika memang ITB adalah
yang terbaik untuk saya, berikanlah saya jalan yang mudah” menjadi “Ya Allah
berikanlah pilihan yang terbaik untuk saya, apapun itu” saking pasrahnya.
-13 Juni 2017-
Hari ini adalah salah satu hari paling bahagia dalam hidup saya. Pengumuman
SBMPTN pun tiba.
Setelah melewati masa-masa server down yang lama, akhirnya saya bisa
membuka hasilnya, dan reflek saya menangis. Teman-teman juga banyak yang
bertanya. Setelah saya jawab bahwa saya diterima pilihan pertama, mereka bahkan
lebih terharu dibanding saya. Banyak yang menangis saking terharunya sampai ada
yang menelepon sambil menangisi saya. Mengapa demikian? Karena mereka tahu
bagaimana kebimbangan dan ketidakpercaya-dirian saya untuk memilih ITB. Juga karena
ITB adalah mimpi mereka, mimpi semua orang, banyak teman-teman saya yang
memilih ITB sebagai pilihan pertama, namun gagal. Padahal ini adalah mimpi yang
bahkan saya sendiri tidak pernah yakin dengan mimpi saya, namun mereka
(teman-teman saya) selalu optimis dan meyakinkan saya bahwa saya pasti bisa kuliah
di ITB.
Tetapi lain teman saya, lain pula Ayah saya. Ayah saya malah terlihat
sedih, khawatir, kepikiran sampai tidak tidur semalaman. Saya sedih, sedih
sekali melihat respon Ayah saya yang seperti itu. Rasanya saya sangat egois
demi mendapatkan hal yang saya mau. Rasanya menyesal menaruh STEI dalam pilihan
pertama.
-Juli 2017-
Lebaran pun tiba. Ayah saya mengajak saya untuk bertamu ke salah satu
temannya yang mempunyai anak yang kuliah di STEI 2015. Di sana Ayah saya diberi
pandangan, diyakinkan tentang ITB, tentang Bandung. Setelah mendapat
pencerahan, hati Ayah saya pun sedikit tenang. Dan setelah Ayah saya ke Bandung
dan mengenal banyak orang di sini, Beliau sudah lega dan sangat rela saya di
sini. Ternyata Bandung tidak semenakutkan yang Beliau bayangkan. Ternyata ketakutan-ketakutan
Beliau tidak beralasan. Dan untuk pertama kali setelah sekian lama, saya merasa
lega.
-Desember 2017-
Tidak terasa setengah tahun sudah saya menjalani kehidupan di Bandung.
Nilai-nilai semester satu pun mulai bermunculan. Melihat nilai-nilai UTS 1 dan
praktikum saya membuat saya frustasi. Setelah mengerjakan UTS 2 pun saya justru
makin sedih. Padahal saya sudah lebih mempersiapkan UTS 2 walaupun saya rasa
belum maksimal. Ketika belajar saya bisa, tetapi detik-detik sebelum
mengerjakan soal semuanya rasanya lenyap dari kepala. Jujur saking takutnya
mendapat nilai jelek, membuat pikiran panik dan semua yang dipelajari hilang
begitu saja. Akhirnya hasil yang saya dapat tidak sesuai dengan yang saya
harapkan. Saya sedih. Pertanyaan-pertanyaan dulu pun kembali datang. Bahkan
muncul pertanyaan-pertanyaan baru "Apakah saya salah mengambil fakultas? Apakah
saya terlalu memaksakan diri kuliah di kampus yang sebenarnya saya tidak mampu?
Apakah saya sangat tidak tahu diri berani berada di antara para orang
hebat?" Sempat juga terpikir ingin mengundi nasib lagi lewat SBMPTN 2018.
Sempat terpikir ingin berputus asa. Tetapi kemudian saya ingat perjuangan saya
untuk bisa kuliah di sini tidak mudah. Saya ingat kedua orangtua saya di rumah
yang tidak hentinya berjuang dan mendoakan saya. Akhirnya saya sadar, ada
orang-orang yang harus saya banggakan. Akhirnya, saya beruntung bisa menjadi
salah satu bagian dari ITB. Saya harus bersyukur, dan berusaha lebih keras
lagi. Saya tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang saya miliki. Saya harus
bangkit! Saya adalah pejuang yang tak kenal lelah. Saya adalah pejuang yang
tidak pernah berputus asa.
Akhir cerita bukanlah akhir dari sebuah perjuangan. Perjuangan saya baru
dimulai, pun kalian. Kita sudah melakukan Janji Mahasiswa. Bagaimanapun janji
adalah hutang yang harus ditepati.
Tahukah kalian makna sesungguhnya dari sebuah kata ‘perjuangan’? Bukan
perjuangan namanya jika cepat berakhir. Bukan perjuangan namanya jika kita
tidak bisa bangkit dari keterpurukan.
Teruntuk :
1. Teman-teman
ITB seperjuangan : Jangan menyerah. Teruslah berjuang. Jadilah pejuang yang
tangguh. Tunjukkan bahwa dirimu adalah pejuang yang sesungguhnya. Kalian tidak
sendiri, kita bersama-sama. Kita semua adalah pejuang. Wujudkan gelar “Putera-Puteri Terbaik Bangsa” menjadi kenyataan.
Teruslah menebar kebermanfaatan bagi semua orang dan lingkungan sekitar. Jangan
berhenti berkarya!
2. Teman-teman
MAN 3 Malang : Terimakasih selalu menjadi orang yang selalu ada buat saya,
selalu memotivasi saya. Semoga sukses menyertai kalian.
3. Teman-teman
yang belum beruntung masuk ITB : Teruslah berjuang. Emas dimanapun akan tetap
menjadi emas. Dimana pun kamu berada, jika menjalaninya dengan hati maka pasti
akan berbuah manis.
3. Adik-adik
SMA : Jangan takut bermimpi. Berjuanglah! Jalanmu masih panjang! Tidak ada yang
mustahil di dunia ini asalkan mau berjuang, berusaha, dan berdoa.
4. Orangtua
: (tidak perlu disebutkan, cukup dilantunkan dalam doa)
Dan terakhir…
“Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau terjatuh, engkau akan jatuh di
antara bintang-bintang” –Ir. Soekarno (Teknik Sipil ITB 1923)
“Tidak ada pelaut hebat yang melalui ombak yang mulus. Semakin besar ombak,
pelaut pun semakin tangguh” –Ustadz Gunawan (yang saya cintai dari Mahad Al-Qalam
MAN 3 Malang)
SELAMAT BERJUANG PARA MASA DEPAN BANGSA !!!
Tulisan ini pertama kali dibuat di Asrama
Sangkuriang ITB,
pada 7 Desember 2017,
pukul 18.21 WIB.
Tulisan ini
merupakan tulisan hasil revisi dari tulisan saya sebelumnya yang ditulis saat TPB, di
postingan akun Line pribadi saya yang dapat dilihat pada link berikut :
https://timeline.line.me/post/_ddXyC1fTg1XlagftgTKUl6Xibf58hFqm1ELDTV4/1151264571504020116
https://timeline.line.me/post/_ddXyC1fTg1XlagftgTKUl6Xibf58hFqm1ELDTV4/1151264571504020116
0 Komentar